Indonesia Raya

Indonesia Raya merupakan kepingan sejarah yang pernah menghiasi perjalanan surat kabar di Indonesia yang terbit dalam dua periode, 1949-1958 dan 1968-1974. Terbit atas permintaan tentara Republik untuk menyuarakan pandangan kaum republiken. Untuk mempersempit ruang gerak dan pendukung Belanda yang masih kuat di ibu kota. Dukungan penuh dari tentara Republik yang tidak hanya berupa moral dan perlindungan pers akan tetapi juga bantuan keuangan untuk membeli kertas, membiayai percetakan, atau gaji pegawai jika diperlukan. Ada fakta cukup menarik dibalik dukungan yang terjadi pada masa itu yakni tentara berlangganan semua surat kabar nasional untuk dibagikan kepada prajurit, salah satunya Indonesia Raya hingga tahun 1952.

Kelahiran surat kabar ini dimulai dengan edisi 29 Desember 1949, dua hari setelah penandatanganan pengakuan Belanda terhadap kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Nama Indonesia Raya sendiri diperoleh Mochtar Lubis atas saran Teuku Sjahril dari judul lagu kebangsaan, tetangga sekaligus pembantu tetap majalah umum dan sastra Mutiara, majalah yang ikut berperan serta membidani terbitnya Indonesia Raya. Mochtar Lubis merupakan salah seorang dari pendiri Indonesia Raya pada tahun 1949 dan menjadi pemimpin redaksi surat kabar ini sejak awal.

Indonesia Raya berkembang sebagai surat kabar yang kontroversial karena cara penyajian beritanya yang sering tanpa tedeng aling-aling dan karena kritik-kritiknya yang tajam, terbuka dan langsung tepat sasaran. Dengan menggunakan bahasa populer yang sederhana tanpa berusaha menggunakan eufinisme. Namun jurnalistik semacam itu tak pelak memberikan konsekuensi tekanan demi tekanan yang menyebabkan terjadinya lima kali pembredelan singkat selama masa orde lama, dan akhirnya pembredelan keenam yang menghentikan penerbitan harian ini pada edisi 10 September 1958.

Beberapa kasus pemberitaan menyebabkan serangkaian pembredelan singkat tersebut yang terkadang berujung penahanan para redaktur hingga wartawan. Namun ada yang perlu digarisbawahi menjelang surat kabar ini dihentikan, yakni kasus Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani penuh intervensi dari Pemerintahan yang berdaulat. Juga pemuatan surat-surat pembelaan diri Letnan Kolonel Zulkifli Lubis dari tempat persembunyiannya serta berita seputar pengambilalihan pemerintahan sipil Sumatera Tengah oleh Dewan Banteng. Disinyalir karena ketiga alasan tersebut Indonesia Raya bergejolak dan terjadi perpecahan 2 kelompok besar yakni kelompok Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan. Penyebabnya antara lain rayuan Menteri Penerangan Sudibjo kepada Hasjim Mahdan untuk mengajak Mochtar Lubis agar Indonesia Raya tidak beroposisi terhadap pemerintah dan dengan keras Mochtar Lubis menolak hal tersebut. Penolakan tersebut menimbulkan gagasan surat kabar baru dengan nama Suara Indonesia Raya, melanjutkan perjuangan kelompok yang tidak setuju dengan pemikiran Hasjim Mahdan yang tetap menggunakan nama Indonesia Raya.

 

Catatan Harian

6 September 1958
Akhirnya apa yang saya (Mochtar Lubis) khawatirkan; terjadinya perpecahan di Indonesia Raya, yaitu perpecahan antara kawan-kawan yang tidak tahan terhadap tekanan dan ingin mencari perlindungan, dan bersedia mengubah dasar-dasar perjuangan Indonesia Raya ini dengan redaksi yang secara bulat berdiri di belakang saya. Pada tanggal 6 September 1958, hari ini, redaksi telah mengeluarkan seruan kepada para pembaca Indonesia Raya untuk menyokong redaksi untuk penerbitan harian yang dinamakan Suara Indonesia Raya, yang akan meneruskan perjuangan asli Indonesia Raya. Mereka yang mau berkompromi mencoba menerbitkan Indonesia Raya gaya baru ? Para pembaca diajak supaya mengirimkan uang langganan kepada redaksi sebesar Rp 28,- sebagai modal dan akan dibukukan sebagai sero pembaca untuk mendapat keuntungan. Kita akan melihat apakah sambutan para pembaca akan cukup besar untuk penerbitan Indonesia Raya yang baru ini.

 

Permintaan terbit Suara Indonesia Raya yang diajukan ditolak oleh pemerintah sedang surat kabar Indonesia Raya versi Hasjim Mahdan hanya bertahan selama kurang dari tiga bulan pasca Mochtar Lubis menolak gagasan untuk kompromi dengan pemerintah Orde lama. Perpecahan ini menjadi penutup drama Indonesia Raya periode pertama yang memiliki oplah 47.000 eksemplar pada saat-saat terakhirnya.

Indonesia Raya lahir kembali pada masa orde baru, 30 oktober 1968, setelah berhenti terbit lebih dari sepuluh tahun. Waktu yang panjang untuk sebuah perubahan dan akhir perseteruan, dengan berbagai dukungan Mochtar Lubis menghidupkan kembali harian ini dan menjadi pemimpin redaksi juga pemimpin umum.

Sudah sejak tahun-tahun pertama kelahirannya tampil, Indonesia Raya sebagai surat kabar yang terutama berpolitik dan sejarahnya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan politik Indonesia. Meskipun tetap tidak selalu bersikap lembut terhadap pemerintah, selama pemerintahan Soeharto surat kabar ini tidak lagi sekeras dan sesengit seperti pandangannya terhadap pemerintahan Soekarno.

Namun hari yang tidak ditunggu itu akhirnya tiba, 21 januari 1974 sebuah edisi “penutupan” Indonesia Raya. Bersama sebelas surat kabar harian dan mingguan serta satu majalah berita yang dilarang terbit pada bulan Januari 1974. Tindakan pembredelan yang merupakan tindakan tindak lanjut pemerintah setelah terjadi demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang menentang kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei -Tanaka dan mengkritik politik pemerintah Indonesia. Demonstrasi itu dinamakan peristiwa “Malapetaka Lima Belas Januari” (Malari) yang terjadi pada 15 – 16 Januari.

Indonesia Raya tidak terbit lagi mulai edisi 22 Januari 1974 setelah sehari sebelumnya terjadi pencabutan surat izin cetak (SIC). Pada 23 Januari Departemen Penerangan mengumumkan bahwa terbitan SIC-nya dibatalkan, juga terkena pencabutan. Sedikitnya 14 wartawan terbitan yang dibredel itu dikabarkan masuk dalam daftar hitam pemerintah yang tidak pernah diumumkan. Selama masa yang tidak jelas batasnya, mereka tidak dibolehkan mengelola media pers lagi, salah satunya adalah Mochtar Lubis. Pencabutan SIC seakan menjadi akhir drama 2 babak (periode) dari surat kabar dengan motto “Suara Pembaharuan Dari Rakyat Oleh Rakyat Untuk Rakyat”.

Tajuk Indonesia Raya

16 Januari 1974
Pengalaman Dengan Jepang Selalu Pahit
Setelah kami melakukan kewajiban tata krama Indonesia menyambut tamu dengan baik, maka tiba pula waktunya untuk berbicara berpahit-pahit dengan tamu kita dari utara ini, Perdana Menteri Tanaka.
Kami ingin menegaskan kepada Tanaka bahwa dalam sejarah hubungan Jepang dengan Indonesia, maka Indonesia hanya mengalami kepahitan-kepahitan yang luar biasa saja.
Pengalaman rakyat Indonesia di bawah telapak kaki besi tentara Dai Nippon tak kalah buruknya dan sakitnya seperti pengalaman rakyat-rakyat di Eropa di bawah telapak kaki kaum Nazi Jerman.
Jika hendak kita uraikan kejahatan-kejahatan, perkosaan-perkosaan, pembunuhan-pembunuhan, pemerasan dan berbagai kejahatan lain yang telah amat ganasnya dilakukan tentara Jepang di Indonesia selama Perang Dunia Kedua, maka ia akan menjadi satu buku yang amat tebalnya. Betapapun besarnya perampasan perang Jepang tak ada yang dapat menggantikan kehancuran dan kebinasaan yang telah ditimbulkan Jepang pada bangsa Indonesia selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Setelah Perang Dunia berakhir, Jepang pun dengan segala kecongkakkan kekuatan ekonominya terus mencoba memeras kekayaan Indonesia, dibantu oleh berbagai orang yang hanya memikirkan kepentingan diri mereka dan membuka pintu bagi mengalirnya kekuatan ekonomi Jepang dengan deras ke tanah air kita.
Riwayat pembayaran perampasan perang Jepang penuh dinodai dengan korupsi, proyek-proyek yang tidak ekonomis, dan sebenarnya perlu diteliti berapa persen dari perampasan perang Jepang itu yang tinggal terkait di Tokyo dan memperkaya orang Jepang sendiri. Di berbagai bagian nusantara kita melihat saksi-saksi terhadap kegagalan-kegagalan proyek perampasan. Dapat saja menyalahkan Soekarno mengenai hal ini, tetapi kita melihat betapa orang Jepang tak kurang bersemangat bekerja sama dengan Soekarno melakukan penipuan besar demikian terhadap rakyat Indonesia.
Setelah Sari Dewi menjadi penyalur hubungan ekonomi antara Jepang dan Indonesia dulu, maka kita melihat pola lama itu diteruskan dengan pemain-pemain baru tetapi praktiknya serupa.
Kritik terhadap praktik-praktik Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara sudah cukup banyak disiarkan.
Untuk menguji kemurnian sikap Jepang terhadap Indonesia, kita ingin melihat sikap Tanaka terhadap beberapa gagasan Indonesia yang kami harap dikemukakan kepada Tanaka
Gagasan pertama adalah pengakuan Jepang terhadap wawasan Nusantara. Bersediakah Jepang mengakui kedaulatan Indonesia atas laut antara kepuluan Nusantara kita? Gagasan kedua adalah kedaulatan Indonesia, Malaysia dan Singapura atas Selat Malaka. Bersediakah Jepang mengakui itu ?
Jika Jepang tidak bersedia mengakui kedua gagasan ini, maka segala maksud baik Jepang terhadap kita tak ada artinya sama sekali

Tinggalkan komentar